Wacana tentang pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah secara serentak di seluruh Indonesia bergulir kencang seiring dengan realita mahalnya biaya operasional pelaksanaannya baik bagi penyelenggara maupun peserta pemilu, di samping tingkat kejenuhan masyarakat terhadap pemilu yang tinggi karena seringnya frekuensi pelaksanaan pemilu dan pemilukada yang bisa terjadi tiap 3-4 bulan di seluruh Indonesia. Baru-baru ini bahkan Presiden SBY sudah menyetujui ide pemilu serentak untuk diimplementasikan. Namun demikian ada beberapa problematika krusial yang harus dipecahkan terkait dengan implementasi Pemilukada serentak. Hal ini tak lepas dari kebiasaan policy maker di negeri ini yang cenderung menggunakan perspektif pendulum yang ekstrim. Tulisan ini berupaya mengkritisi prospek pelaksanaan Pemilukada serentak, seandainya akan diterapkan.
Seiring dengan arus demokratisasi yang kuat pasca lengsernya Orde Baru yang otoritarian, pendulum demokrasi bergerak dari “Demokrasi Pancasila” yang serba membatasi ke arah pendulum demokrasi ala barat yang bebas seiring dengan euphoria reformasi. Perubahan mendasar inipun akhirnya mewarnai juga dalam system rekrutmen kepala daerah yang sebelumnya “tersentral” menjadi dipilih langsung oleh masyarakat, sebagaimana yang diidealkan oleh paham Demokrasi, yang memandang bahwa kekuasaan ada di tangan rakyat.
Namun ada cost yang harus dibayar terkait dengan implementasi demokrasi langsung tersebut, yaitu pelaksanaan demokrasi menjadi berbiaya mahal baik bagi biaya operasional penyelenggara pemilu maupun biaya operasional bagi peserta pemilu yang harus berusaha menggaet suara pemilih yang jumlahnya banyak. Di sisi lain, muncul kekhawatiran dengan mahalnya biaya politik ini akan menyuburkan politik transaksional yang sangat merugikan masyarakat. Pemilukada dikhawatirkan tidak mensejahterakan masyarakat namun malah menyengsarakan masyarakat.
Sementara itu, realitas jumlah kabupaten/kota di Indonesia yang menyentuh angka 500, membuat pelaksanaan Pemilukada akan dilakukan hampir sepanjang tahun tanpa henti. Masyarakat tentunya akan jenuh dan muak dengan Pemilu dan Pemilukada (di luar Pilurdes) yang potensial menurunkan tingkat partisipasi pemilih. Berangkat dari kedua isu inilah pengguliran wacana Pemilukada serentak menemukan momentum yang tepat.
Minimal ada lima sisi positif implementasi Pemilukada serentak. Pertama, efisiensi biaya dan waktu penyelenggaraan pemilu karena dalam beberapa hal bisa dikoordinasikan, misalnya: penjadwalan tahapan pilkada berbasis propinsi, koordinasi pengadaan logistic yang seragam (selain surat suara), koordinasi jadwal pelaksanaan kampanye serta koordinasi kegiatan tahapan per propinsi. Kedua, dengan dilaksanakan serentak, pelaksanaan pemilukada menjadi lebih “gayeng” dan akan memunculkan semangat bersaing antar penyelenggara pemilu di daerah. Karena suasana yang hangat dalam skala yang luas akan menumbuhkan antusiasme masyarakat berpartisipasi dalam Pilkada. Ketiga, dengan pelantikan dan akhir masa jabatan yang sama, kinerja kepala daerah dapat diukur dengan indicator dan periode waktu yang sama, sehingga mudah dikomparasikan antar daerah. Tentunya hal ini akan memicu kompetisi yang sehat antar kepala daerah untuk bisa lebih berhasil dibandingkan daerah lainnya. Keempat, dengan pelaksanaan waktu yang sama, maka dasar hukum dan peraturan yang diterapkan pun bisa diseragamkan, sehingga dapat mengurangi potensi konflik terkait perbedaan aturan yang digunakan, yang biasanya sering berubah. Kelima, interaksi antar partai akan menjadi sangat dinamis, sehingga silaturahmi antar Partai akan terjalin baik, karena partai A dan B yang secara ideologis sangat berbeda, namun dalam realitas Pilkada, mereka tidak akan selalu berhadap-hadapan. Mereka bisa jadi berkoalisi dalam mengusung calon di suatu daerah. Tentunya hal ini akan menjadi media pembelajaran yang baik bagi perkembangan demokrasi dan kedewasaan parpol mengingat hakekat politik adalah sebuah game yang harus disikapi secara fair.
Namun demikian tentunya ada pula ekses yang potensial muncul yang harus diantisipasi apabila pemilukada serentak akan dilaksanakan, yaitu: Pertama, realitas akhir masa jabatan Kepala Daerah yang berbeda-beda sebagai imbas pelaksanaan pemilukada dan pelantikan kepala daerah terpilih yang berbeda waktu. Problema ini tampaknya sudah diantisipasi Kemendagri yaitu dengan kebijakan pengangkatan caretaker (Pelaksana Tugas Kepala Daerah) yang menjabat sampai dengan pelantikan kepala daerah terpilih hasil pilkada serentak. Kedua, potensi konflik dan gugatan yang besar baik dalam hal skala maupun waktu yang bersamaan akan menyulitkan posisi Mahkamah Konstitusi sebagai hakim tunggal yang mengatasi masalah gugatan Pilkada. Bisa dibayangkan betapa repotnya MK, apabila gugatan datang serentak, sementara ada batasan waktu bagi MK untuk memutusnya. Dikhawatirkan banyak gugatan yang telat pengambilan keputusannya, karena MK “kewowogen” perkara. Ketiga, problema terkait dengan pengadaan surat suara, mengingat tidak banyak perusahaan percetakan yang memiliki kualifikasi tinggi seperti yang dipersyaratkan penyelenggara pemilu. Seperti diketahui, untuk mencegah terjadinya pemalsuan pencetakan surat suara, maka percetakan wajib memenuhi persyaratan yang sangat ketat yang biasanya bisa dipenuhi oleh perusahaan besar di kota besar di Jawa. Mengingat jumlahnya yang terbatas, maka apabila pelaksanaan lelang surat suara dilakukan bersamaan dengan variasi surat suara yang berbeda beda maka akan muncul masalah serius.
Akhirnya, barangkali perlu dipertimbangkan alternatif jalan tengah, yaitu pemilu serentak berbasis per zona dengan mempertimbangkan aspek kuantitas kabupaten/kota dan geografis, dengan durasi jeda antar zona maksimal 4 bulan. Dapat disimulasikan di sini ada 3 zona Pilkada serentak, yaitu: Zona Sumatera, Zona Jawa, Bali dan Nusa Tenggara, dan Zona Kalimantan-Sulawesi-Maluku-Papua. Pelaksanaan Pilkada di masing-maisng zona dilakukan secara serentak, namun pelaksanaan antar zona diberi jeda waktu yang tidak melebihi durasi satu tahun. Suatu jalan tengah yang patut diperhitungkan guna memecahkan masalah yang mungkin muncul.